Melihat Tarian Robot (PPMI) di Atas Panggung Sepi Penonton
Oleh: Bung Rifaldhoh,
Tulisan ini sederhana saja, sederhana sejak dari permulaan, bahkan sedari judul. Bukan hasil olah pikir orang yang di kamarnya tergantung banyak ID Card kepanitiaan, tidak pula oleh Masisir yang sering foto dengan background gedung putih Dokki yang elok itu, apalagi oleh ustaz senior yang story WA kata-kata mutiaranya di-repost belasan kali. Bukan! Hanya bentuk pengamatan aktualitas sederhana dari seorang Masisir biasa yang saban hari hanya mondarmandir Khodrowi-Aslan dengan kaos oblong berlogo Al-Azhar yang dibeli sejak masa Covid-19. Jadi, pembaca jangan banyak berpengharapan!
Judul tulisan ini juga bukan kalimat majas satiris apalagi sarkastis, tidak sama sekali. Semata gambaran apa yang sedang penulis as a social subject amati: melihat robot yang sedang menari di atas panggung yang sepi penonton.
Apa yang dimaksud dengan “Robot”? Apa makna “Menari”? Dan apa itu “Panggung yang sepi penonton”?
Untuk keperluan pendedahan istilah, ada baiknya pembaca yang budiman membaca tulisan penulis sebelumnya yang berjudul “Aktivisme Masisir: Antara yang Seadanya dan Yang Seharusnya”, terbit di Wawasan KKS pada (18/02/2025). Sebab, beberapa istilah dalam tulisan ini diambil dari tulisan tersebut.(https://www.wawasankksmesir.com/2025/02/aktivisme-masisir-antara-yang-seadanya-dan-yang-seharusnya/)
Baiklah langsung saja, setelah ini pembaca akan digiring ke dalam dunia imajinatif: berdiri di depan semacam gedung teater. Penulis akan menuntun pembaca mulai dari—apa yang kita sebut—“Gerbang”, “Pintu”, hingga “Panggung” untuk menyaksikan sendiri maksud tajuk tulisan “Melihat Tarian Robot di Atas Panggung Sepi Penonton” ini.
Gerbang
Amecoglu dan James Robinson, dalam bukunya Why Nations Fails: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty menyebutkan banyak ciri negara bisa dicap “gagal”. Satu di antara ciri paling penting adalah Institusi Ekstraktif: saat kekuasaan politik terpusat pada segelintir orang.
Organisasi induk kita, PPMI (Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia) Mesir memang bukan negara, bukan pula institusi politik formal. Namun dalam tidak sedikit aspek, ia nyaris menyerupai institusi negara.
Dari tata cara pengelolaan, struktur organisasi, perangkat eksekutif, metode pemilihan pemangku jabatan, hingga penggunaan nomenklatur politik seperti Presiden, Wakil Presiden, Menteri, BPA dan MPA sebagai lembaga legislatif, dan Kekeluargaan yang diasumsikan mirip provinsi—itu semua setidaknya bisa menjadi pijakan realitas yang mengizinkan kita untuk meninjau PPMI Mesir dari sudut pandang term “negara” yang dimaksud Amecoglu dan Robinson di atas. “Miniatur negara”, begitu yang kerap kita dengar.
Fokus pada bagian “Kekuasaan politik terpusat pada segelintir orang”.
Secara teoritis, redaksi ini bisa menjadi pintu menyoal keabsahan dan legitimasi hasil Pemira (Pemilu Raya) yang saban tahun menghabiskan setidaknya EGP 85.000 itu. Bayangkan saja, dari total sekurang-kurangnya tujuh belas ribu anggota PPMI hari ini, maksimal, hanya sepertiga anggota yang ikut mencoblos Pres-Wapres yang mana menjadi pimpinan organisasi induk. Itu sudah maksimal!
Lihat data pada empat Pemira sebelumnya. Tahun 2022, Pemenang Pemira hanya mampu menggaet 15,38 % dari total DPT. Tahun selanjutnya terjadi penurunan, Paslon yang keluar sebagai pemenang hanya mengantongi 12,59 % suara Masisir. Untuk tahun lalu, Presiden dan Wapres dipilih oleh hanya 18,56 % dari total pemilik suara. Anda tahu berapa jumlah suara yang mengantarkan Paslon Glen-Zaudan jadi Presiden-Wapres PPMI periode 2025-2026? Tak lebih dari 540 orang dari total 17.322 pemilik hak suara, berpijak di atas pulau kecil bernama 3,12 persen!
“Kekuasaan politik terpusat pada segelintir orang”.
Berbeda dengan apa yang dimaksud Amecoglu—fenomena politik di dalam satu negara yang arah kebijakannya bisa dipegang oleh kelompok mayoritas atau kroni penguasa—dalam realitas kita di Masisir, kursi pimpinan PPMI yang akan memengaruhi keputusan eksekutif dan arah kebijakan masisir ke depan hanya ditentukan oleh sekelompok 3,12% orang yang mencoblosnya.
Dan seperti kaset buruk, siklusnya selalu sama. Setelah malam inaugurasi pemenang Pemira yang penuh haru, presiden terpilih akan membentuk kabinet lalu menunjuk Tim Sukses inti sebagai pejabat teras dengan harapan mereka bisa membantu mewujudkan janji-janji kampanye yang heroik itu.
Namun seperti yang sudah-sudah, list janji yang diunggah selama seminggu nonstop masa kampanye itu akan tenggelam sedikit demi sedikit, hari demi hari, halus sekali, hingga tak ada yang menyadari bahwa sudah masuk bulan Februari lagi dan kepanitiaan Pemilu Raya selanjutnya harus kembali dibentuk. Begitu saja terus!
Persentase minor partisipasi Pemira di atas sejatinya bukan sekadar angka penghias pamflet untuk diunggah akun IG Pemira atau angka di laporan LKS saja. Ia memiliki makna; sebuah pesan kritis yang barangkali sengaja diselipkan masisir lewat keengganan mereka untuk ikut serta mencoblos Paslon yang ada di surat suara. Lebih jauh lagi, angka-angka mungil itu menunjukkan kelesuan atensi Masisir pada sang organisasi induk, bahwa ada semacam tabir kemuakan bermotif “apatisme” yang melingkupi tubuh robot tua bernama PPMI ini.
Ya, seperti robot yang tersusun dari kaki, tangan, kepala hingga mesin—demikian pula PPMI—ia seharusnya merupakan struktur heterogen yang tersusun dari realitas keragaman Masisir, bukan hanya dalam aspek struktural, secara lateral ia juga mesti dialiri rasa memiliki dan semangat keterhubungan dengan anggota.
Pertanyaannya, rasa memiliki dan semangat keterhubungan macam apa yang diperlihatkan statistik 3% anggota yang mencoblos pimpinannya?
Pintu
Baiklah, itu tadi gerbangnya, di mana kita melihat PPMI sebagai robot yang dikendalikan controller yang sedang dicuekin anggota. Sekarang kita masuk ke “Pintu” tulisan ini. di bagian ini kita akan melihat sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang sebenarnya sudah cukup terasa, namun belum jamak diartikulasikan.
Kita mulai dari istilah “Robot”. Robot itu benda mati tak bernyawa, jelas sekali ia tak bisa bergerak bahkan menggerakkan kelingking sendiri pun tak dapat. Harus ada yang duduk di balik controller, menggunakan remote, atau sekadar duduk memegang semacam joy stick.
Kita asumsikan PPMI adalah robot Transformer yang punya kekuatan—yang bila digunakan dengan baik—dapat membantu orang banyak. Di dalam robot itu ada kursi si pengendali lengkap dengan joy stick tuk mengarahkan arah si robot.
Tiap tahun, duit EGP 85.000 (sekitar 28 jt sekian dengan kurs hari ini) dihabiskan hanya untuk memilih siapa yang paling pas untuk menduduki kursi sakral pengendali robot. Kalau dia berhasil menjalankan tugas, membuat anggota terbantu dengan kehadiran si robot, orang-orang akan dengan penuh keikhlasan memberikan tanda terima kasih berupa Temus (kesempatan jadi tenaga musim haji bergaji puluhan juta dengan embel-embel haji gratis) buat pengendali robot.
Perhatikan kalimat “memilih siapa yang paling pas” dan “kalau dia berhasil”.
Kita tahu, dalam iklim demokrasi yang sehat, pemimpin adalah orang terbaik dari sebuah entitas yang direlakan untuk memegang zimamal umur. Nah, pertanyaannya, dalam konteks masisir hari ini, resource puluhan juta berikut waktu dan tenaga panitia yang dikeluarkan tiap tahun apakah memang dalam rangka mencari The Proper One atau hanya rutinitas tahunan mendudukkan “siapa yang kebetulan mau membentuk timses dan nyalon” saja?
Lalu, untuk syarat “kalau dia berhasil”, rasanya yang ini tak perlu saya jabarkan apa mafhum mukhalafah-nya; sesederhana “kalau tak dapat menunaikan tugas, ya jangan ambil reward nya”. Begitu, kan?
Lalu muncul pertanyaan “Apakah dengan ini masisir mengalami krisis kepemimpinan?”
Kalau yang dimaksud adalah ketiadaan resource individu bermutu dan potensial untuk menjadi pemimpin, rasa-rasanya tidak, tidak sama sekali. Sistem seleksi ganda—seleksi pendaftaran Maba di Indonesia dan “seleksi alam” saat di Mesir—sudah teruji oleh zaman telah berhasil membentuk pribadi-pribadi tangguh yang mumpuni secara akal-budi untuk menjadi sosok pemimpin. Tidak, Masisir sama sekali tidak kekurangan orang.
Tapi yang aneh, dari total kurang lebih 17.000 Masisir yang kalau dibariskan satu line bisa membentuk barisan memanjang dari Masjid Al-Azhar hingga Kubri Asyir, saat pendaftaran Pemira dibuka paling banter ada dua pasangan calon saja yang mendaftar. Lebih aduhai lagi, tahun ini (2025) hanya satu Paslon yang datang ke Wisma Nusantara, tempat di mana orang-orang PPR (Panitia Pemilu Raya) menunggu.
Pertanyaan lain, “Mengapa tak banyak yang berminat menduduki kursi di dalam “robot” bernama PPMI itu?”.
Ada dua kemungkinan: (1) Saking sakral dan sulitnya tugas tersebut sehingga banyak yang merasa tak mampu, atau (2) karena demikian tak lagi “ber-value-nya” si Robot?
Untuk itu, bila Anda membaca buku This Time Is Different: Eight Centuries of Finansial Folly, Anda akan menemukan satu kesamaan dari semua fenomena negara gagal, yaitu saat “semua yang dilakukan” atau “yang berasal dari negara” tidak lagi dipedulikan rakyatnya.
Seperti saat hyper crisis melanda Venezuela, kresek berisi uang kertas terbitan Bank Sentral bisa teronggok begitu saja di tepi trotoar tanpa ada yang berniat mengambil; sebab tak lagi ber-value. Seruan pemerintah untuk penegakan hukum pun tak dipedulikan orang, jarah-menjarah jadi pemandangan sehari-hari. Tak ada yang peduli dengan omongan pemerintah.
“Do you get the massage?”
Apakah jumlah partisipasi Pemira yang tak sampai sepertiga keseluruhan voters dan meja pendaftaran presiden yang sepi peminat itu berbanding lurus dengan ambruknya value PPMI as organization di mata anggotanya?
Silakan Anda jawab sendiri!
Panggung
Beberapa hari lalu, Saya dan seorang teman sedang berjalan dari Khodrowi mau ke Gamaliyah. Baru sampai di Nadi Qoumi, kami melihat sekelompok orang berjas, lengkap dengan dasi, sepatu mengkilat dan dagu yang agak sedikit mendongak, melangkah dengan terburu-buru.
“Ini anak-anak organisasi kira-kira mau ngapain, ya?” celetuk si kawan.
“Paling acara PPMI di Wisma,” jawabku santai.
“Menurutmu, kalau PPMI tawaquf satu tahun gitu ngaruh nggak ya ke kita?” kali ini tanyanya agak serius.
“Menurutmu?” tanyaku balik.
“Menurutku ga ngaruh apa-apa, satu-satunya momen kita butuh sama PPMI itu ya pas mereka ngadain Open Donasi dan ngurusin orang sakit di RS, itu aja. Nah, kalau cuma itu, Satgas kesehatan aja kan bisa. Sisanya yaa.. kayak wujuduhu ka’adamihi.”
Dialog singkat itu membekas di kepala, memantik banyak pertanyaan lain hingga akhirnya saya putuskan untuk menuliskannya di sini; “Wujuduhu ka’adamihi”, fenomena yang sayup-sayup memang terasa, namun agak sulit digambarkan.
- PPMI Tak lebih dari Event Organizer.
Apa yang menyatukan anak-anak muda Hindia dalam Indische Vereeniging saat studi di Netherland dalam rentang 1910-1940? Anda tahu? Persamaan warna kulit? Bukan! Kesamaan lembaga pendidikan? Apalagi! Ialah ide, mereka disatukan ide, dihimpun narasi, dijahit oleh satu mimpi bersama yang diamini semua individu.
Hari-hari ini Masisir lupa, utamanya masisir organisator, lupa pada benang utama yang menyatukan 17.000 sekian orang itu. Sebab yang menarik sekarang cuma story IG dengan latar gedung KBRI, yang dikejar adalah foto di kafe estetik membahas program kerja yang bakal dihadiri tak sampai 50 dari total 17.000 anggotanya.
Tak ada pertumbukan narasi, jual beli gagasan juga sepi, pokok pembicaraan elite organisasi tak jauh dari topik menciptakan program mercusuar yang bisa mengenangkan nama kabinet. Ngopi di kafe, bahas teknis kegiatan, kemudian gedebag-gedebug buat acara, plek-ketiplek dengan jobdesk karyawan dalam perusahaan Event Organizer.
Dan saat PPMI hanya memosisikan diri sebagai Event Organizer dari proker janji kampanye presiden, maka saat itulah sense of belonging dan keterhubungan emosionalnya dengan anggota roboh lagi porak-poranda. Tersisalah siklus tahunan naik-turun pejabat dengan kontroversinya masing-masing.
“Lah, Anda tak tahu saja bagaimana letihnya Menkes PPMI mendampingi anggota yang sakit?”
“Tak tahu saja Anda bagaimana sulitnya berurusan dengan penegak hukum Mesir saat mendampingi anggota yang tersandung kasus hukum?”
Tak ada yang menafikan kinerja maha mulia itu, tapi kalau hanya untuk itu, suruh saja PNS di gedung KBRI membuat Satgas Kesehatan atau Satgas Hukum untuk mengurus pokok-pokok yang demikian. Beres.
2. Kerancuan Paradigma
Baik pejabat Masisir maupun anggota biasa sama-sama tidak mempunyai pijakan paradigma yang kokoh untuk menilai dan bersikap. Batasan dan lingkup kerja PPMI sampai sekarang masih samar-samar.
Apakah PPMI harus mengirim beras gratis ke tiap rumah masisir baru dianggap hadir? Atau presiden harus ngopi dengan semua tongkrongan baru dianggap eksis? Tak jelas, maudu’ (red: objek) porsi tanggung jawab PPMI. Karena tentu saja kita tidak bisa melihat Pres-Wapres sebagai super hero yang ke mana-mana membawa kantong Doraemon, bukan?
Sejatinya tolak ukur paradigma mengenai PPMI as organization sudah dirumuskan dalam AD-ART PPMI. Persisnya di Bab I Pasal 7 dan 8 tentang Fungsi dan Tujuan organisasi. Namun sampai hari ini, AD-ART itu tak pernah “keluar” dari bentuk file PDF, hanya jadi hiasan pemanis saja.
3. Reformasi
Reformasi adalah proses perubahan atau pembaruan terhadap sistem, struktur atau kebijakan yang ada dalam satu negara, lembaga atau masyarakat dengan tujuan memperbaiki keadaan menjadi lebih baik. Reformasi muncul sebagai respons terhadap kondisi yang tidak ideal, stagnasi atau ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahannya.
Dalam konteks Masisir, kesadaran kolektif dan ide perubahan yang semakin membesartiap kali ada kontroversi di tubuh PPMI sudah selaiknya dinaikkan satu oktaf ke gelanggang diskusi serius.
Situasi non ideal seperti apa yang mesti diubah, dan perubahan semacam apa yang diidamkan? Pertanyaan mendasar yang semestinya mulai dimasukkan dalam catatan pribadi masing-masing individu Masisir.
Untuk pokok soal reformasi, akan kita bahas di tulisan selanjutnya. Pendek kata, narasi Reformasi PPMI sudah makin menemukan momentum untuk dihamparkan, bukan lagi ide asing yang tak relevan. Refomasi dalam makna yang sebenar-benarnya.
Penutup
Seperti yang telah disampaikan di awal, tulisan ini tidak punya pretensi apa-apa selain pengamatan aktualitas dari seorang biasa yang hanya berusaha untuk peduli. Memberikan akbaru qodrin mumkinin li ishlahil mujtama’ihi, sebagai doktrin utama kebermanfaatan ilmu pengetahuan.
Barangkali iya, bahwa sekarang PPMI—dengan semua lembaga di bawahnya—seperti robot yang beraksi di atas panggung sepi penonton, namun bukan di “sepi” dan “sosok” di dalam robot itu yang jadi persoalan utama. Pada semua pihak yang terafiliasi dalam struktur masyarakat bernama Masisir-lah tanggung jawab sosial itu hidup dan kemudian perlu dihidupkan.
Karena pada akhirnya, terlampau kerdil kita kaum terpelajar untuk berapatis ria pada sesuatu yang sama-sama kita butuh dan hormati ini. PPMI adalah lokomotif sejarah yang telah menempuh ratusan kilometer rel zaman, kebermanfaatannya bukan hanya tuntutan kita hari ini, namun warisan tak ternilai yang patut diwariskan dalam bentuknya yang paling prima ke generasi-generasi selanjutnya.
Tabik, Rifaldhoh KMJ!
Mari bergabung untuk mendapatkan info menarik lainnya!
Klik di sini