Ketika Negara Terkerdilkan Ego Penguasa
Pemerintah tak lebih dari sekedar penjahat yang menyamar. Sialnya, sistem buruk ini terpelihara sejak zaman presiden pertama Indonesia hingga saat ini. Hal ini tidak hanya menjerat yang berbuat jahat, bahkan orang baik pun bisa dapat hanyut di dalamnya. Kita harus jujur, yang rusak bukan hanya individu saja, tetapi tata kelola juga. Bangsa Indonesia terlalu besar untuk diseret-seret dalam psikologi segelintir pemerintah yang tidak bisa membedakan antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik yang pada akhirnya menciptakan hierarki yang sangat bobrok dan ketidakdewasaan ketika memimpin negara.
Pernyatan bahwa “pemerintah tak lebih dari sekedar penjahat yang menyamar” adalah bentuk kritik keras terhadap watak kekuasaan yang cenderung menyimpang dari bentuk idealnya. Yang perlu dibenahi bukan sekedar moralitas individu, melainkan juga tata kelola negara agar tidak terus melahirkan kerusakan yang sama. Tulisan ini menawarkan integrasi antara kepemimpinan Presiden sebelumnya dan selanjutnya. Dengan demikian, terasa bahwa pemerintah betul-betul nyata dalam membangun negeri.
Pepatah yang Populer Namun Tidak Terlaksana
المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
“Memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik”
Pepatah di atas yang begitu populer bagi para santri sangat relevan jika kita bawa ke dalam konteks pemerintahan yang belum pernah ditarik ke masa kini. Sehingga pemerintah terjebak pada romantisasi masa lalu dan mengglorifikasi masa depan dengan cara melihat apa yang telah dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya. Pada kedua hal tersebut, pemerintah akan terjebak pada optimis yang berlebihan sehingga terlalu santai atau sangat over pesimistik. Sayangnya pemerintah tidak pernah menyentuh hal yang paling sederhana: pendekatan yang realistik.
Kita bisa mengambil contoh “kemiskinan” di Indonesia. Tingkat kemiskinan nasional turun menjadi 8,47%, atau sekitar 23,85 juta penduduk miskin. Data ini merupakan angka terendah dalam 20 tahun terakhir. Kemiskinan adalah salah satu penyebab ketimpangan sosial di Indonesia. Sederhananya, budaya kemiskinan dapat dilihat dari sikap, seperti sikap pasrah atau rendahnya motivasi untuk berkembang, sehingga ketimpangan tersebut dapat terus bertahan, meskipun faktor ini lebih bersifat internal dan sering kali dipengaruhi oleh kondisi eksternal.
Kemiskinan di sisi lain sering kali diperkuat oleh faktor sosial, seperti rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya kesadaran akan pentingnya investasi jangka panjang. Misalnya pendidikan anak atau pengembangan usaha. Dalam banyak kasus, masyarakat miskin cenderung mengadopsi pola hidup yang bersifat survival (bertahan), seperti mengutamakan kebutuhan harian daripada planing masa depan.
Namun, sejarah juga bergerak dan setiap zaman melahirkan tantangan baru yang tidak dapat dijawab dengan perangkat lama. Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh terjebak dalam kejumudan berpikir maupun bertindak. Jika hal ini dibiarkan, negara akan tampak tidak memiliki sistem pembangunan yang berkelanjutan untuk mewujudkan cita-cita menjadi bangsa yang besar. Pada akhirnya, yang muncul bukanlah visi bersama, melainkan keegoisan dalam kepemimpinan ketika presiden beserta jajaran kabinetnya lebih sibuk memastikan nama mereka dikenang dan dibanggakan oleh generasi mendatang.
Jika pemerintah tidak berani keluar dari pola lama yang kaku, negara akan tampak berjalan di tempat, seolah tidak memiliki sistem yang benar-benar berkelanjutan untuk membangun sebuah peradaban yang besar. Yang lebih memprihatinkan, alih-alih merancang kebijakan yang kokoh dan berpijak pada visi jangka panjang, seringkali yang terjadi hanyalah keegoisan dalam memimpin negara. Pada akhirnya, hal tersebut hanya mewarisi dan memelihara sistem lama yang berkarat serta menyedihkan. Sistem ini bukan hanya membuat birokrasi tersendat, melainkan juga merusak fondasi masa depan bangsa. Salah satu contohnya tampak dalam dunia pendidikan di mana kurikulum sering berganti tanpa arah yang jelas.
Sementara ittu, metode pengajaran masih mengandalkan hafalan, bukan kreativitas dan pemikiran kritis. Namun, perubahan itu lebih sering bersifat kosmetik bukan substansial. Akibatnya, sekolah dan guru dipaksa menyesuaikan diri dengan aturan baru tanpa benar-benar diberi ruang untuk memahami arah pembaruan. Metode pengajaran pun—meski sudah banyak rencana pembaruan—pada kenyataannya masih sangat kaku. Guru diposisikan sebagai penguasa kelas yang hanya menyalurkan informasi, sementara siswa dipaksa menjadi pendengar pasif yang menelan materi tanpa daya kritis.
Politik kemudian direduksi menjadi panggung citra di mana para pemimpin sibuk menanamkan jejak nama mereka dalam sejarah dan bukan menanamkan manfaat nyata bagi generasi yang akan datang. Dengan demikian, narasi kepemimpinan kehilangan substansinya. Ia bukan lagi tentang keberlanjutan bangsa, melainkan tentang keabadian nama. Rakyat diposisikan sebagai penonton yang terus-menerus disuguhi drama pencitraan, sementara persoalan fundamental negara—ketimpangan ekonomi, krisis lingkungan, lemahnya sistem pendidikan, serta kerapuhan hukum—tetap dibiarkan berulang tanpa penyelesaian yang mendalam. Padahal, sebuah bangsa besar hanya dapat berdiri tegak apabila kepemimpinannya berorientasi pada kesinambungan, bukan kepentingan sesaat. Yang dibutuhkan bukan figur yang dielu-elukan, tetapi sistem yang mampu bertahan dan berkembang, terlepas dari siapa yang memimpin. Dengan kata lain, sejarah tidak membutuhkan pahlawan yang hidup dari puja-puji, melainkan negarawan yang mampu menanamkan visi jangka panjang, bahkan bila nama mereka kelak dilupakan.
Masa depan bangsa tidak boleh digadaikan demi kebanggan semu para pemimpin karena harga diri sebuah bangsa jauh lebih tinggi daripada sekedar tepuk tangan sesaat atau pencitraan murahan. Sejarah tidak pernah memberi tempat terhormat bagi mereka yang sibuk meninggikan dirinya sendiri. Hal tersebut hanya akan menuliskan nama-nama besar bagi pemimpin yang sanggup menanamkan warisan nyata dan membangun fondasi yang tetap kokoh sekalipun ia telah tiada. Kepemimpinan sejati bukanlah perkara seberapa keras seseorang dielu-elukan ketika berkuasa, melainkan seberapa dalam ia meninggalkan jejak bagi generasi setelahnya. Itulah sebabnya, seorang pemimpin sejati harus berani menunda kepentingan pribadi dan menahan hasrat untuk membesarkan nama sendiri demi memastikan bangsa ini tetap berdaulat, berdiri tegak di atas kakinya sendiri, dan tidak menjadi tamu di rumahnya sendiri.
Refrensi data kemiskinan: Badan Pusat Statistik Indonesia
_________
Penulis: Hary Hamzah
Mari bergabung untuk mendapatkan info menarik lainnya!
Klik di sini



