Informatika Mesir
Home Opini & Suara Mahasiswa Bedah Ilusi Feodalisme Pesantren: Adab Bukan Perbudakan

Bedah Ilusi Feodalisme Pesantren: Adab Bukan Perbudakan

Adab dan Feodal; Pesantren dan Pendidikan.

Yang sedang ramai hari-hari ini sebenarnya bukan soal pesantren itu sendiri, tetapi soal cara publik memahami tradisi. Satu-dua kasus muncul dari oknum yang menyalahgunakan otoritas, lalu dunia maya mendidih dan menganggap seluruh sistem pendidikan Islam bersalah. Dari situlah bara dimulai. Padahal kalau mau jujur, pesantrenlah yang sejak berabad-abad menjadi benteng moral bangsa tempat para kiai dan santri memerdekakan pikiran rakyat di tengah kolonialisme. Dari pesantren lahir para pendiri republik, bukan budak, tetapi guru bangsa. Maka kalau ada yang menyimpang, cukup diakui, dibenahi, dan bukan dijadikan alasan membakar seluruh warisan keilmuan yang sudah berabad-abad berdiri.

Namun, media sosial hari ini bekerja seperti ruang gema. Suara paling nyaring dianggap paling benar. Orang tergesa menyimpulkan, lupa menelusuri sebab. Padahal satu kasus di Jawa tidak bisa dijadikan representasi nasional, sebagaimana satu kesalahan ustaz tidak membuat semua guru rusak. Penyederhanaan seperti itu tidak menghasilkan kebenaran, hanya kemarahan massal. Marah tanpa arah adalah bahan bakar perpecahan.

Kita lupa, pesantren bukan monolit. Di dalamnya ada ragam wajah mulai dari yang tradisional hingga yang reformis. Tidak semua tunduk dalam pola yang sama; tidak semua guru ingin dipuja. Tradisi di pesantren adalah hasil tafsir sosial dari nilai adab, bukan dogma yang beku. Maka menilainya dengan kacamata hitam-putih adalah bentuk kemalasan berpikir. Dalam istilah Francis Bacon, ini bentuk nyata dari awhāmul kahf “ilusi gua,” di mana seseorang terperangkap oleh bayangan pikirannya sendiri dan mengira itu kebenaran. Banyak pengkritik pesantren hari ini—tanpa sadar—sedang berbicara dari dalam guanya sendiri.

Karena itu, yang perlu kita luruskan bukan perdebatan tentang siapa yang lebih modern atau lebih Timur, tetapi bagaimana kita membaca realitas dengan jernih. Sebab, sebagaimana dikatakan Imam Ali bin Abi Thalib, “Lihatlah apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan.” Jika pesantren salah, benahi. Tetapi, jika yang salah adalah persepsi publik yang tergesa, itulah yang perlu diluruskan.


Antara Adab dan Feodalisme: Garis Halus yang Sering Dikaburkan

Masalah terbesar hari ini bukan pada adab itu sendiri, tetapi pada kebingungan masyarakat membedakan antara penghormatan dan penindasan. Dalam Islam, adab kepada guru bukan sekadar etika sosial, tapi bagian dari spiritualitas ilmu. Nabi ﷺ bersabda, “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan tidak menyayangi yang lebih muda, serta tidak menempatkan ulama pada posisinya,” (HR Ahmad). Ini menunjukkan bahwa menghormati guru adalah cerminan kesadaran akan sumber ilmu, bukan pemujaan terhadap manusia.

Namun, benar juga bahwa penghormatan tidak boleh berubah menjadi penaklukan. Bila adab dijadikan alat kuasa, ia kehilangan maknanya. Feodalisme lahir bukan dari ajaran Islam, tetapi dari penyimpangan manusia yang haus penghormatan. Karena itu, kritik publik seharusnya diarahkan pada penyalahgunaan nilai adab, bukan pada adab itu sendiri. Menghapus takzim hanya karena ada oknum yang menyelewengkannya adalah bentuk penyederhanaan yang menyesatkan.

Di sisi lain, sebagian pihak menggunakan logika modern yang sepenuhnya liberal untuk menilai tradisi pesantren. Mereka lupa bahwa kebebasan dalam Islam berbeda dengan kebebasan dalam sekularisme. Syed Muhammad Naquib al-Attas pernah menulis, “Tujuan pendidikan Islam bukan membebaskan manusia dari guru, tetapi membebaskannya dari perbudakan terhadap hawa nafsu dan dunia.” Maka, wajar bila pesantren mendidik santri dengan disiplin karena kebebasan tanpa adab hanyalah bentuk baru dari kebinatangan intelektual.

Kita boleh menyesuaikan bentuk adab dengan zaman, tetapi ruhnya jangan dihapus. Dunia boleh berubah, tetapi kebenaran tak lekang. Tugas kita bukan mengganti nilai, melainkan memurnikannya dari kerak feodalisme dan ego.


Penyederhanaan: Musuh Baru dari Akal Sehat

Yang sedang kita lawan bukan kritik, tetapi penyederhanaan berpikir. Tidak semua yang takzim itu feodal dan tidak semua yang kritis itu liberal. Dunia modern terjebak pada dikotomi dangkal: tunduk berarti terbelakang, sementara melawan berarti tercerahkan. Padahal kebenaran sering kali berdiri di antara keduanya, di wilayah seimbang antara hormat dan rasionalitas. Sebagaimana kata Al-Ghazali, “Ilmu tidak akan menetap di hati yang sombong dan tergesa.” Maka, santri diajarkan rendah hati bukan untuk diperbudak, tetapi untuk dilatih agar pikirannya lapang.

Sayangnya, opini publik lebih suka sensasi daripada pemahaman. Mereka mengira semua pesantren sama. Padahal, yang viral hanyalah pinggiran dari kompleksitas besar. Seakan satu video Tiktok bisa menjelaskan seluruh sejarah pendidikan Islam di Nusantara. Itu seperti menilai samudra hanya dari satu ember air.

Dalam iklim sosial seperti ini, kebenaran kehilangan arah. Para pengamat seketika menjadi hakim moral; netizen menjadi pengadilan rakyat. Padahal bila dikaji secara historis, sistem pendidikan di pesantren justru punya semangat egaliter yang tak dimiliki model sekolah kolonial. Di pesantren, anak petani bisa duduk sejajar dengan anak bangsawan. Feodalisme justru hidup subur di luar pagar pesantren, bukan di dalamnya.

Karena itu, penting menegaskan kembali bahwa kritik sejati bukan tentang menghancurkan, tetapi memurnikan. Kita bisa menegur tanpa menghina dan memperbaiki tanpa menghapus. Kalau bangsa ini ingin tetap beradab, kita harus belajar menghormati perbedaan cara manusia mengekspresikan hormat.


Palsunya “Peradaban Timur” dan Gua Bernama Klaim Kolektif

Lucu sekali, ada yang mengaku membela “peradaban Timur”, tetapi cara berpikirnya justru paling dangkal. Mereka bilang “ini tradisi seluruh pesantren”, padahal yang berkasus hanya sebagian kecil di Jawa. Menyamaratakan seluruh pesantren Indonesia hanya karena satu-dua video viral sama bodohnya dengan menyimpulkan semua guru korup hanya karena satu oknum pungli. Kalau mau bicara peradaban, gunakan logika peradaban juga: riset, data, dan keseimbangan.

Ironisnya, sebagian pihak yang merasa mewakili Timur malah memelihara pola pikir paling feodal: anti kritik, absolut, dan tak mau koreksi diri. Padahal Timur yang sejati adalah Timur yang reflektif dan mampu menatap dirinya sendiri tanpa takut melihat noda. Konfusius sendiri berkata, “Guru yang sejati adalah dia yang juga belajar dari muridnya.” Tapi sebagian malah menjadikan kata “guru” sebagai benteng ego.

Pesantren yang sehat tidak menolak kritik karena kritik adalah bagian dari pendidikan jiwa. Menolak koreksi sama saja dengan menolak proses belajar. Jika ada perilaku yang melampaui batas, menegur bukan berarti durhaka, tetapi justru menjaga muruah ilmu itu sendiri. Sebab, sebagaimana Nabi ﷺ bersabda, “Agama adalah nasihat,” (HR. Muslim). Nasihat itu berlaku dua arah. Dari guru kepada murid dan juga dari murid kepada guru.

Jadi, berhentilah memakai embel-embel “peradaban Timur” untuk menutupi kesalahan dan berhentilah menuduh “perbudakan” pada tradisi yang tak kalian pahami. Timur yang sejati bukan soal menunduk, tetapi soal tahu kapan harus menegakkan kepala dengan adab.


Pesantren: Rumah Ilmu, Bukan Rumah Takzim Buta

Kita tak sedang membela pesantren karena fanatik, tetapi karena ingin menjaga keseimbangan akal. Pesantren bukan malaikat. Di dalamnya bisa ada salah dan keliru. Tetapi, menuding seluruh pesantren hanya karena ulah segelintir oknum adalah bentuk kebodohan intelektual. Di balik pagar-pagar sederhana itu, ribuan santri belajar jujur, berdisiplin, dan rendah hati—tiga hal yang justru hilang di banyak ruang pendidikan modern.

Pesantren adalah rumah ilmu yang layak dibersihkan, bukan dibakar. Ilmu tidak akan tumbuh di tanah yang hangus oleh kebencian. Di sinilah adab menemukan relevansinya. Bukan sebagai alat untuk membungkam, tetapi sebagai pagar agar ilmu tidak disalahgunakan. Adab bukan rantai, tetapi arah.

Kita perlu menumbuhkan kesadaran baru bahwa menghormati guru tidak berarti menuhankannya dan mengkritik guru tidak berarti memberontak. Di tengah polarisasi zaman ini, pesantren bisa jadi contoh bahwa tradisi dan modernitas tidak harus saling meniadakan, tetapi bisa berdialog dengan tenang dan saling belajar. Itu yang membuat Islam Nusantara tetap hidup karena ia lentur, bukan kaku dan berakar, tetapi tak membatu.

Akhirnya, sebagaimana dikatakan Jalaluddin Rumi, “Adab adalah bunga yang tumbuh di taman hati. Siapa yang kehilangan adab, kehilangan harum dirinya.” Maka, biarlah kita berbeda pandangan tentang bentuknya. Tetapi, jangan pernah kehilangan aromanya. Sebab bangsa yang kehilangan adab—cepat atau lambat—akan kehilangan arah.

Penulis: M. Ilham Al-Musa (Deo)

_____________

“Membangun masa depan dengan dialog dan komunikasi”

Mari bergabung untuk mendapatkan info menarik lainnya!

Klik di sini
Comment
Share:

5Comment

  1. Secara isi saya yakin ini buatan manusia, tulisannya bagus. Tetapi, saya mencium bau metafora khas AI. Apakah ada campur tangan AI dalam penggunaan diksi di teks tersebut?

  2. Tulisannya sangat bagus. Idenya kuat. Tetapi kok saya mencium bau metafora khas ai ya… Apakah diksi tulisan ini murni buatan manusia atau ada bantuan AI, khususnya dalam mendandani tulisan supaya lebih indah dan nyastra?

  3. Apakah tulisan ini murni buatan manusia? Atau ada andil AI dalam menghiasi kalimat-kalimatnya?

  4. Terima kasih atas tanggapannya bung!

    Tulisan ini murni buatan manusia. Memang ada beberapa bagian yang awalnya terlalu frontal dan kasar, jadi penulis sempat mencari referensi diksi metaforis lewat AI — tapi hanya sebatas contoh kata, bukan paragraf utuh. Semua kalimat yang muncul di naskah tetap disusun dan dirangkai sendiri oleh penulis, dengan gaya dan makna yang tetap sesuai arah awal penulisan. Jika ada hal yang lebih lanjut, ahlan wa Sahlan didiskusikan.

  5. Tak ada yang salah, semua merasa benar dalam subejktifitasnya masing-masing. Hanya ada orang bodoh, tak mau introspeksi dan sibuk menyalahkan eksternal yang tak ada sangkut pautnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ad