Informatika Mesir
Home Opini & Suara Mahasiswa Ketika Azhari Hanya Sekadar Tagar

Ketika Azhari Hanya Sekadar Tagar

Al-Azhar hanya menjadi tagar. Sumber: Istimewa.

Belakangan ini, muncul gelombang konten yang cukup menggelitik bahkan mencerminkan hilangnya rasa urat malu sebagian Masisir. Dengan tanpa rasa sungkan, mereka membuat dan mengunggah sebuah tren bertajuk “Abang di Mesir adek di mana” atau “Adek di Mesir abang di mana” yang sebagian kontennya berlatar belakang Masjid Al-Azhar serta mirisnya menyematkan tagar #Al-Azhar. Penyajian konten semacam ini apa lagi kalau bukan untuk menarik perhatian lawan jenis dan popularitas. Di mana rasa urat malu sebagai Masisir?

Dalam beberapa kolom komentar, banyak sekali Masisir ataupun orang luar yang menyayangkan dan prihatin dengan fenomena seperti ini. Mereka menyampaikan keresahannya dan muak melihat tren semacam ini.

“Agak miris melihat masisir zaman sekarang. Semoga keilmuannya enggak mengecewakan ya.”

“Tujuan ke Mesir itu cari apa sih? Heran.”

Gimana gitu kalo anak Azhar ikutan tren beginian. Kuliah nya islami kan, Kak? Apalagi banat kesannya kayak enggak pas banget.”

“Cari anak saya di mana-mana takut ikut tren ini.”

Adapun sebagian menganggapnya seperti lelucon hanya untuk bersenang-senang dan sebagian lain apa lagi yang diharapkan kalau bukan respon lawan jenis dari kreator konten tersebut.

Karena itu, wajar saja ada beberapa senior Masisir berkompeten—seperti Ustaz M. Nuruddin—menyerukan akan sistem yang ketat dalam penyeleksian calon mahasiswa baru. Mungkin di awal-awal, mereka perlu dibekali dan mempelajari sebuah kaedah اللازم لا ينفك عن ملزومه “suatu yang menjadi konsekuensi tidak akan terlepas dari yang menjadi sebabnya”. Jika seseorang pergi ke Mesir dan berstatus sebagai pelajar Azhari, konsekuensi dan tujuan utamanya adalah belajar. Lalu, pantaskah kebutuhan pokok seperti belajar digeser oleh orientasi lain seperti Vlogging?

Jika fenomena ini terus berlanjut, muruah dan pribadi Masisir yang berstatus Azhari serta dikenal sebagai sosok pelajar yang menjaga tradisi keilmuan ulama terdahulu akan terkikis dan akan tereduksi sebagai sekadar nama tanpa makna yang mendalam. Padahal, gelar itu adalah amanah besar dan bukan sekedar kebanggan formalitas. Sudah sepatutnya sebagai Azhari, kita memanfaatkan fasilitas keilmuan di sini yang melimpah dan tak lupa menjaga adab. Di samping itu, masyarakat menaruh harapan terhadap ilmu yang kita peroleh, bukan pada pencapaian followers ataupun subscribers yang kita miliki.

Perlu kita ingat, menjadi mahasiswa Al-Azhar bukanlah perkara sederhana. Sebagai institusi ilmu bersejarah yang telah berabad-abad menjaga warisan keilmuan Islam dan melahirkan ribuan ulama di seluruh dunia, Al-Azhar menanamkan muruah yang melekat pada setiap penuntut ilmunya. Menyandang identitas sebagai “Azhari” berarti memikul harapan umat, menjaga ilmu, meneruskan perjuangan ulama, dan menyebarkan hikmah kepada masyarakat. Lantas apakah pantas nama “Al-Azhar” yang memiliki sejarah gemilang dijadikan hashtag pada konten yang memalukan?

Maka oleh sebab itu, sudah saatnya kita mengingat tujuan awal kita yaitu belajar dan sadar akan diri kita. Untuk apa sebenarnya kita jauh-jauh ke Mesir? Apakah hanya untuk membuat konten demi mendapatkan validasi dan popularitas atau menuntut ilmu demi mengabdikan diri demi kemaslahatan umat? Pertanyaan semacam ini penting untuk ditanamkan karena dari jawaban di atas, kita akan mengetahui ke mana langkah kita akan diarahkan. Jika niat kita sudah melenceng, seluruh perjalanan keilmuan kita di sini tidak ada makna nya. Apa artinya status “mahasiswa Al-Azhar” jika orientasinya hanya berhenti pada layar kamera dan pencapaian angka interaksi semata?

Namun, apakah penulis di sini menolak munculnya vloger ataupun kreator konten di tengah-tengah masisir? Tidak. Jadilah sosok vloger ataupun kreator konten yang mencerminkan identitas seorang Azhari tanpa melupakan orientasinya di awal serta memenuhi beranda Tiktok ataupun Instagram dengan memberikan konten edukasi, pencerahan, serta nilai-nilai Islam yang bermanfaat bagi masyarakat. Apalagi kita hidup di tengah gencarnya digitalisasi dan seringkali yang negatif selalu menyebar dengan pesat, maka sudah sepatutnya kita mengambil langkah untuk memenuhi media dengan hal-hal yang bersifat positif dan bermanfaat.

Penulis: Faqih Billah

_____________

“Membangun masa depan dengan dialog dan komunikasi”

Mari bergabung untuk mendapatkan info menarik lainnya!

Klik di sini
Comment
Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ad