Memangnya Keadilan Seperti Apa yang Masih Perlu Diperjuangkan Perempuan?
Oleh: Naila Fauziah Abidillah
Pertanyaan “memangnya keadilan seperti apa yang masih perlu diperjuangkan perempuan?” merupakan paradoks bagi mereka yang menilai bahwa saat ini kondisi perempuan sudah cukup merdeka dan berdaya, apa lagi yang perlu diperjuangkan? Keadilan seperti apa yang diinginkan Perempuan? Dalam tulisan ini penulis sengaja memakai term “keadilan” agar tidak menggangu pembaca yang seringkali terganggu dengan term “kesetaraan”.
Apakah Dunia Sudah Adil Terhadap Perempuan?
Berbicara mengenai kondisi keadilan gender saat ini, memang kesempatan bagi perempuan lebih terbuka luas, mulai dari pendidikan, dunia karir, dan berbagai aspek lainnya. Saat ini kesadaran masyarakat terhadap keadilan gender juga meningkat, lalu apa yang masih perlu diperjuangkan? Mengutip dari mubadalah.id, keadilan gender yang masih perlu diperjuangkan adalah nilai-nilai kehidupan masyarakat yang sampai saat ini masih sering membatasi perempuan untuk memanfaatkan setiap peluang yang ada atau akrab disebut glass ceiling.
Salah satu isu ketidakadilan gender yang menandakan bahwa upaya perjuangan ini haruslah tetap disuarakan adalah isu pelecehan seksual. Dalam laporan Kemenpppa sejak Tanggal 1 Januari 2025 hingga saat ini terdapat 6.875 laporan pelecehan verbal maupun fisik, dan 5.914 diantara korbannya adalah perempuan. Kemudian karena cara pandang dikotomis, korbanlah -dalam hal ini perempuan- yang bersalah. Entah karena cara berpakaiannya, atau jikalau sudah tertutup perempuanlah yang tetap dianggap mengundang. Kasus pelecehan seksual dianggap terjadi bukan karena kegagalan pelaku dalam mengendalikan dirinya.
Isu pelecehan seksual ini tak hanya ramai diperbincangkan di Indonesia, lebih dekat lagi, di lingkungan Masisir-pun pelecehan verbal maupun fisik masih sering terjadi. Kemudian bagaimana reaksi Masisir dalam menanggapi kasus yang marak terjadi ini? Untuk data dan informasi selengkapnya penulis perlu bahas dalam tulisan lainnya.
Dalam buku Qiraah Mubadalah, Faqihuddin Abdul Kadir menjelaskan bahwa salah satu tantangan serius dalam mewujudkan keadilan gender adalah cara pandang dikotomis pada laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan berbeda sehingga keduanya dilihat bertentangan satu sama lain. Salah satu pihak mesti menaklukan pihak lain, jika tidak maka ia akan ditaklukan. Kita disempitkan pada dua pilihan, antara menaklukan atau ditaklukan.
Laki-laki dianggap berada di posisi superior, sedangkan perempuan berada di posisi inferior. Kontruksi patriarki adalah pangkal superioritas laki-laki, dan karena hal itulah nilai perempuan ditentukan pada sejauh mana ia memberikan manfaat terhadap laki-laki. Cara pandang dikotomis seperti ini melahirkan stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda. Tak hanya itu, cara pandang tersebut tidak hanya berbahaya bagi perempuan, namun juga laki-laki. Karena patriarki juga mengandung cara pandang bahwa siapapun yang lebih kuat boleh menindas yang lebih lemah.
Kemudian isu lain yang dirilis jurnalperempuan.org tentang KUHP yang berkeadilan dan berprespektif gender, Siti Amina Tardi dari Komnas Perempuan menyoroti sistem pidana yang dianggap belum cukup berkeadilan terhadap perempuan, mulai dari proses penyelidikan, penuntutan, peradilan, hingga pemasyarakatan.
Bahkan saat ini tantangan untuk mewujudkan keadilan semakin kompleks. Mengutip dari mahkamahagung.go.id, bahwa tantangan terbesar gerakan keadilan gender bukan lagi sekadar memperjuangkan hak-hak perempuan, tetapi merumuskan ulang agenda intelektual dan praksis yang mampu bersikap inklusif, kontekstual, dan bertanggung jawab secara etis terhadap keberagaman struktur sosial dan nilai budaya.
Beberapa contoh yang telah disebutkan penulis diatas menandakan adanya ruang-ruang hampa keadilan terhadap perempuan. Pertanyaan seperti, “keadilan apa lagi yang diharapkan perempuan?” mengonfirmasikan perlunya menjernihkan kembali akar emansipasi dan menajamkan kesadaran pada ruang, dimana perubahan-perubahan terjadi begitu cepat dan masif, tidak ada hal yang tetap dan stabil. Pun pada posisi non-biner yang penuh tantangan. Kesadaran inilah yang akan membuat gerakan perempuan dapat membangun berbagai strategi kontekstual dalam bingkai keadilan gender.
Lalu Bagaimana Bentuk Keadilan Hakiki?
Dr. Nahla al-Saidi dalam acara Woman Talk 2024 bersama Alissa Qotrunnada Wahid menerangkan bahwa konsep kemitraan antara laki-laki dan perempuan lebih tinggi dari konsep keadilan, karena konsep kemitraannya adalah ihsan.
Lebih spesifik, dalam buku Nalar Kritis Muslimah karya Dr. Nur Rofiah menjelaskan bahwa jika kita fokus pada persamaan laki-laki dan perempuan dengan mengabaikan pengalaman perempuan, maka keadilan yang muncul adalah keadilan yang legal, formal, dan tekstual. Namun, jika kedilan diupayakan dengan cara fokus pada persamaan laki-laki dan perempuan sambil memberikan perhatian khusus pada pengalaman biologis perempuan untuk difasilitasi dan pengalaman sosial perempuan untuk dihapuskan, maka terciptalah keadilan hakiki.
Menurut Dr. Rofiah, pengalaman biologis perempuan meliputi; menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Dalam kelima pengalaman khas biologis ini, perempuan merasakan sakit yang tidak dialami laki-laki. Sementara pemegang kebijakan didominasi oleh laki-laki, sehingga tidak jarang kebijakan bersifat subjektif dan kurang memperhatikan kemaslahatan bagi perempuan.
Sekali lagi, penulis ingin menggaris bawahi bahwa dikotomi bukanlah satu-satunya cara pandang pada perbedaan, sebab perbedaan dapat pula dipandang secara sinergis. Keberagaman bukanlah sumber konflik melainkan modal sosial untuk menciptakan dunia yang adil.
Laki-laki dan perempuan, bukan soal siapa yang lebih kuat atau yang lebih hebat dan siapa yang lebih lemah. Kita semua mempunyai kesempatan yang sama untuk mengambil peran, membentuk nilai-nilai masyarakat yang berkeadilan.
Selamat Hari Kartini 2025, Salam Keadilan.
Mari bergabung untuk mendapatkan info menarik lainnya!
Klik di sini




