Oleh: Muhammad Rizal Fachriyan, Mahasiswa Hukum dan Syari’ah Universitas Al-Azhar
Beberapa hari terakhir publik dibuat heboh dengan adanya temuan ijazah palsu yang diperuntukkan sebagai kelengkapan prasyarat administratif pendaftaran ke salah satu Universitas di Kairo, Mesir. Fakta yang ditemukan menginterpretasikan adanya indikasi bahwa pemalsuan ijazah tersebut dilakukan secara tersturktur, sistematis, dan masif oleh beberapa pihak perseorangan dan/atau instansi.
Hal tersebut merupakan bentuk dari kecacatan moral dan kebodohan berfikir tidak hanya secara yuridis; Misdriif (kejahatan) dan Overtreding (pelanggaran) dalam tindak pidana pemalsuan, akan tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai moral secara teologis.
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan mendasar adalah apa jerat hukum dan sanksi pidana bagi pemalsu nilai dan/atau ijazah ?
Mengacu pada substansi pasal 263 (1) dan pasal 264 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
Ayat 1 : “Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat-surat itu seolah-olah surat itu benar dan tidak dipalsukan, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun”.
Unsur dalam pasal 263 adalah :“barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat “
Mengacu pada prinsip asas legalitas, maka perumusan delik yang terkandung di dalam pasal 263 dan pasal 264 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta telah terpenuhi formulasi unsur yang ada dalam pasal tersebut, jelaslah bahwa penerapan pasal 263 dan pasal 264 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bagi pelaku pemalsuan sudahlah tepat. Dengan demikian dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, maka dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. sedangkan untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya ( syarat objektif dan subjektif )
Dalam hukum pidana konsep pertanggung jawaban itu merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan ini dikenal dengan sebutan “mens rea” suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali pikiran dan/ atau niat orang itu jahat.
Akan jauh lebih menarik kiranya pemalsuan nilai dan ijazah tersebut dituntut dengan dakwaan yang bersifat kumulatif ( beberapa delik didakwa serempak , karena dilakukan berbarengan samenloop/concursus/perbarengan , tetapi masing-maisng merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri ) Misalnya, peristiwa pembunuhan yang juga ada unsur pemerkosaan dan pencurian.
Dalam hal ini, Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan hukuman maksimal enam tahun penjara / Pasal 264 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan hukuman maksimal delapan tahun penjara dengan Pasal 67 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 ( satu miliar rupiah )
Terlepas dari fakta lapangan dan indikasi yang ada, permasalahan tersebut adalah hal yang sangat memalukan dan mencoreng moralitas yang bersangkutan. kurang relevan jika kalkulasi kerugian hanya berdasarkan materiil keuangan, lebih jauh dari itu, ada banyak hal yang seharusnya dikorbankan bukan dipalsukan. sehingga patutlah diterima secara baik bahwa, potensi turunnya kualitas akademik berbanding lurus dengan kuantitas peserta didik.
Editor : Nur Taufiq
Comment