Fenomena #inmasisirwetrust: Sekadar Tren atau Gerakan Perubahan?
Oleh: Muhammad Faiz Ardhika
Pada 15 April 2025, Masisir diguncang oleh pengakuan beberapa influenser yang menjadi korban cat calling oleh seorang muthowif (red: pendamping jemaah umrah). Para korban mengunggah bukti tersebut di akun TikTok pribadi mereka. Unggahan itu dengan cepat menyebar luas serta memiliki banyak respon dari warganet yang membela sang korban, namun juga menimbulkan ujaran kebencian pada sang pelaku.
Kabarnya, oknum merupakan alumni mahasiswa Indonesia di Mesir. Melalui algoritma TikTok yang semakin dipenuhi dengan konten negatif tentang pengakuan korban, hal ini berimbas pada pandangan warganet yang mendiskreditkan Masisir secara general.
Munculnya Gerakan Digital: #inmasisirwetrust
Sebagai bentuk respons atas kasus yang terjadi, sebagian Masisir memilih untuk tidak tinggal diam. Mereka melawan narasi negatif melalui gerakan digital bertajuk #inmasisirwetrust yang memuat sisi positif dari Masisir untuk melawan stigma negatif dari pandangan warganet. Tagar ini pun mulai menghiasi lini masa TikTok dan platform lain yang dirasa sebagai bentuk penyeimbang narasi.
Salah satu pengguna TikTok dalam caption-nya menyampaikan keresahannya.
“Please, dari kemarin risih banget sama yang lagi viral, pada menyamaratakan Masisir. Padahal yang join tren itu enggak tahu kondisi di sini gimana. Banyak yang Masya Allah banget di kalangan Masisir, kenapa yang viral cuma bagian oknumnya saja?“
Pengguna lain menambahkan, “aslinya males dan gak pernah nunjukin yang beginian. Cuma kali ini buat ingetin ke kalian semua: jangan gampang menggeneralisasi suatu masalah hanya karena beberapa oknum.”
Ada juga yang menyoroti sisi lain yang luput dari pemberitaan, “banyak yang hanya melihat dari sisi negatif, tapi lupa bahwa di balik itu, banyak Masisir yang masih istiqamah belajar mati-matian dan talaqqi di sudut tiang Masjid Al-Azhar.”
Masih banyak lagi yang mengungkap keresahannya atas kejadian ini di dunia maya maupun dunia nyata. Hal ini menimbulkan suatu pertanyaan, mengapa narasi negatif bisa dengan cepat menyebar? Maka untuk memahami itu kita perlu melihat konteks yang lebih luas.
Konteks: Akar Masalah dan Fenomena “Normalisasi”
Jika menilik sejumlah kasus sebelumnya, istilah “normalisasi” sempat menjadi topik hangat di berbagai forum Masisir. Istilah ini mencuat karena adanya anggapan bahwa sebagian Masisir mulai membiasakan perilaku yang tidak sesuai dengan lingkungan yang berlaku. Bahkan di antara mereka ada yang membiarkan perilaku yang bertentangan dengan norma agama tanpa memberikan penegasan sikap.
Contohnya termasuk ikhtilat (percampuran bebas antara laki-laki dan perempuan) tanpa adanya batasan syariat, penggunaan bahasa kasar dalam ruang publik maupun media sosial, hingga tindakan yang melanggar adab dalam berinteraksi sosial. Beberapa pihak menilai bahwa hal-hal seperti ini telah menjadi “penyakit diam-diam menyerang” di tengah komunitas penuntut ilmu agama yang seharusnya menjadi garda depan dalam mengamalkan nilai-nilai syariat.
Fenomena ini menuai kritik keras, terutama dari kalangan mahasiswa senior dan alumni Al-Azhar yang menaruh harapan tinggi terhadap generasi muda Masisir. Sebagai mahasiswa yang menimba ilmu di pusat peradaban Islam, Masisir diharapkan menjadi contoh dalam integritas moral dan keteladanan akhlak, bukan justru mengikuti tren yang menjauhkan dari esensi penuntut ilmu.
Lalu munculnya tren #inmasisirwetrust yang bisa dibaca sebagai reaksi spontan dari keresahan yang selama ini terpendam. Namun yang perlu digarisbawahi, tren ini hanya akan bermakna jika diiringi dengan transformasi yang lebih dalam. Bukan sekadar pencitraan di dunia maya, tetapi pembenahan sikap dan di dunia nyata yang diaktualisasikan oleh Masisir itu sendiri.
Dilema: Mengembalikan Citra atau Bangun Persona Pribadi
Di era digital, narasi bisa dengan mudah dibentuk oleh siapa saja. Ketika satu sisi bercerita tentang pelanggaran, sisi lain perlu hadir untuk memberi keseimbangan. Tren #inmasisirwetrust merupakan upaya tersebut. Bukan semata-mata ingin tampil baik, melainkan untuk menolak generalisasi yang berlebihan. Namun harus diakui bahwa gerakan ini juga menyimpan dilema moral.
Urgensi dari publikasi kebaikan bisa menjadi inspirasi. Tapi di sisi lain, seseorang bisa tergelincir dari niat untuk perbaikan menjadi panggung pengakuan jika tidak dikendalikan dengan niat yang jernih. Sebagian publik mencoba memahami unggahan tren itu, apakah muncul dari empati atau ambisi untuk menunjukkan perbedaan kontras dari yang lain? Ada juga yang melihatnya sebagai wujud solidaritas, namun di sisi lain ada yang menafsirkan sebagai kompetisi membangun citra personal.
Di sinilah refleksi penting muncul bahwa menjadi Masisir bukan sekadar identitas akademik, tapi juga tanggung jawab sosial yang seharusnya diemban bersama-sama. Gerakan digital yang dibangun mestinya tidak berhenti pada pembelaan sesaat, melainkan menjadi budaya sadar diri yang mendorong perbaikan internal untuk menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi penuntut ilmu agama.
Kritik terhadap Gerakan
Gerakan perlawanan dari narasi negatif banyak mendapat respon baik dari Masisir untuk mendukung dan ikut merealisasikan hal ini. Namun, nyatanya tidak semua pihak sejalan. Beberapa menilai kampanye ini sebagai ajang pamer yang berpotensi terjebak ke dalam sikap riya. Ada juga yang menilai bahwa sikap ini merupakan bentuk antipati terhadap seseorang yang sedang terkena musibah.
Selain penilaian negatif atas tren ini, ada juga yang meyakinkan bahwa muruah atau kehormatan diri sebagai pelajar agama senantiasa terjaga oleh Al-Azhar. Selain itu mereka juga mengerdilkan para pelaku yang mencoreng nama baik dan orang-orang yang memfitnah hanyalah orang yang tidak suka dengan Masisir.
Munculnya perspektif ini menimbulkan dilema akan arah pergerakan Masisir yang jika diam saja dianggap “menormalisasi”, namun jika bergerak menuai sorotan buruk.
Pembahasan ini sangat menarik jika merujuk pada salah satu Alumni Universitas al-Azhar yakni Ustaz Abdul Somad, yang pernah dua kali mengunggah ijazahnya di Instagram, bukan untuk pamer, tetapi sebagai upaya menangkal fitnah terkait ijazah palsu. Dalam konteks tertentu, klarifikasi terbuka bisa menjadi penting. Karena gerakan ini bukan bertujuan untuk menonjolkan diri, melainkan untuk menjaga kredibilitas.
Refleksi Penutup
Fenomena ini seharusnya menjadi ruang refleksi bagi seluruh Masisir. Citra tidak dibentuk hanya dari konten semata, tetapi juga melalui konsistensi perilaku dan kepekaan terhadap lingkungan. Namun, dalam dunia digital yang serba cepat, narasi pun harus cepat ditanggapi. Jika tidak, yang tersisa hanyalah stigma dan generalisasi.
Jangan sampai gerakan ini hanya menjadi tren viral sesaat yang hilang seiring scroll pengguna. Yang lebih dibutuhkan saat ini adalah upaya konsisten memperbaiki diri, memperbaiki internal komunitas, dan membangun dialog terbuka tanpa saling menyalahkan. Karena pada akhirnya, di tengah derasnya arus digital dan konflik identitas kolektif, muncul satu pertanyaan reflektif yang tak bisa dihindari:
Diam dikritik, bergerak pun tetap menuai sorotan. Lantas, langkah seperti apa yang mesti diambil Masisir untuk membangun kembali citra positif komunitasnya? Apakah #inmasisirwetrust hanya akan berhenti sebagai tren sesaat, atau benar-benar tumbuh menjadi gerakan kolektif yang membawa perubahan?
Mari bergabung untuk mendapatkan info menarik lainnya!
Klik di sini



