Informatika Mesir
Home Opini & Suara Mahasiswa Asusila Masisir Semakin Marak, Sampai Kapan PPMI Mesir Akan Kompromi?

Asusila Masisir Semakin Marak, Sampai Kapan PPMI Mesir Akan Kompromi?

Oleh: Defri Cahyo Husain, Dewan Pimpinan MPA PPMI Mesir periode 2022/2023

Beberapa waktu lalu, saya terlibat dalam sebuah forum diskusi PPMI Mesir bersama pimpinan media-media Masisir (Mahasiswa Indonesia di Mesir), yang mengangkat tema tentang Peran Media Dalam Peningkatan Keamanan dan Ketertiban Masisir. Di forum itu, KPI (Komisi Peduli Instraksi) PPMI Mesir mengungkapkan beberapa kasus asusila yang sedang dan telah mereka tangani beberapa waktu belakangan.

Menariknya, meskipun PPMI Mesir mengharapkan peran media sebagaimana tema yang diangkat, saya justru masih menangkap kekhawatiran dari mereka akan adanya pihak-pihak tertentu yang mengecam jika hal seperti ini diungkap ke publik. Maksud saya, peran media sebagai kontrol sosial itu adalah mengangkat sebuah isu ke publik, dan kalian masih khawatir akan adanya kecaman dari pihak tertentu? Jika benar-benar menginginkan perubahan, mau sampai kapan kalian akan kompromi dengan keadaan seperti itu?

Maraknya Asusila; Konsekuensi Kompromi Tak Sehat

Keresahan ini sebenarnya berangkat dari pengalaman pribadi saya. Di tahun 2020 dulu, ketika masih aktif sebagai Pemimpin Redaksi Informatika Mesir, saya bersama rekan-rekan Informatika saat itu merasa bahwa metode PPMI Mesir dalam menangani kasus-kasus asusila Masisir secara diam-diam sepertinya kurang efektif, sehingga kami mengambil langkah baru sesuai dengan fungsi media sebagai kontrol sosial, yaitu dengan mengangkat hal tersebut ke publik.

Tentu, fungsi kontrol sosial yang saya sebutkan adalah guna menjadikan pemberitaan kasus seperti itu sebagai pembelajaran bagi yang lain, juga agar publik tahu hal seperti ini selalu disorot oleh media dan ditangani oleh pemangku kebijakan, sehingga membuat orang-orang yang mungkin mendapati kesempatan, akan berpikir dua kali bahkan lebih jika ingin melakukan kasus serupa.

Alhasil, pemberitaan dengan judul “Kasus-kasus Asusila Masisir Pecah, Penanganan pun Dinilai Lemah” (hingga saat ini berita tersebut masih bisa diakses) ternyata menuai reaksi dari berbagai pihak. Kami mendapat kecaman dari beberapa orang yang ‘ditinggikan’ di Masisir untuk menarik berita itu. Bahkan, PPMI Mesir yang harusnya melindungi hak Freedom of Speech justru ikut mendesak kami.

Berdasarkan contoh itu, saya mendapat dua macam orang dalam menanggapi hal semacam ini. Ada yang kontra dengan pemberitaan kasus-kasus asusila Masisir, ada pula yang pro. Bagi mereka yang kontra, memiliki kurang lebih dua landasan: 1.) Menjaga nama baik Masisir di Indonesia, dan 2.) Menghindari kecaman dari pihak-pihak tertentu. Dan bagi yang pro, landasannya seperti yang sudah saya sebutkan di atas yakni kontrol sosial, sanksi sosial, juga efek jera.

Menurut saya, kedua jenis tersebut pada akhirnya melahirkan kaum pro sebagai silent majority, dan kontra yang mendominasi. Sayangnya, pihak pemangku kebijakan juga (dari dulu hingga kini) mungkin harus berada di pihak kontra, karena adanya dominasi dari pihak-pihak tertentu, yang tentu hal ini berkonsekuensi pada kompromi yang tidak sehat. Akibatnya, penyelesaian diam-diam tetap dilestarikan, tetapi kasusnya pun semakin menjadi-jadi.

Kompromi: Memuaskan Dominasi, Mengabaikan Silent Majority

Pembahasan mengenai kompromi ini saya dapatkan dari kanal Malaka Project dengan hastag #GakPakeKompromi. Singkatnya, teori mengenai kompromi ini adalah konsep yang berasal dari studi konflik dan resolusi, yang menggambarkan pendekatan untuk menyelesaikan perbedaan dengan mencari titik tengah yang dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat. Dalam kompromi, setiap pihak biasanya ‘mengorbankan’ sebagian dari kepentingan atau tuntutannya untuk mencapai kesepakatan bersama.

Sayangnya, PPMI Mesir dalam berkompromi dengan menyelesaikan masalah asusila secara diam-diam ini menurut saya justru merupakan penyebab utama mengapa kasus seperti ini semakin marak terjadi. Mengapa demikian? Paling tidak, ada tiga landasan saya menyebut tindakan PPMI Mesir ini sebagai kompromi tidak sehat:

Pertama, Tidak mengatasi akar masalah. Saya melihat, akar masalah dari problem seperti ini—selain karena sistem pengiriman mahasiswa ke Mesir yang kurang efektif—adalah pelaku tidak dihadapkan pada konsekuensi sosial yang nyata. Ini menciptakan lingkungan yang aman bagi mereka untuk mengulang tindakan serupa, atau barang kali karena tidak tahu adanya penanganan kasus seperti ini.

Di sinilah peran media sebagai kontrol sosial berjalan. Contohnya sudah pernah terjadi beberapa bulan yang lalu, terkait perilaku asusila salah satu ketua organisasi yang disembunyikan oleh orang-orang tertentu. Ketika ada media yang mengangkatnya ke publik, akhirnya menghasilkan Surat Keputusan penindakan oknum tersebut.

Contoh lain berdasarkan cerita saya di atas, meski banyak dikecam sana-sini, tetapi secara tidak langsung pada tahun tersebut, kasus asusila yang ditangani PPMI Mesir saat itu hanya berkisar pada angka 5-7 kasus. Sekarang? Anda mungkin tidak akan percaya jika saya mengatakan kasus LGBT yang dilakukan oknum Masisir saja sudah mencapai lebih dari 30 kasus dalam jangka waktu beberapa bulan belakang, dan begitulah faktanya, belum lagi dengan kasus-kasus lainnya.

Saya tidak ingin membahas panjang lebar terkait hal itu, saya serahkan kepada kru-kru aktif media saat ini yang bisa memvalidasi kebenaran data tersebut.  Selain itu, masih banyak sebenarnya contoh kasus tentang seberdampak itulah peran media dalam memberikan efek jera atau sanksi sosial serta bisa meminimalisir kasus seperti ini. Namun, masih saja orang-orang tertentu tadi menutup mata dengan hal itu.

Kedua, Mengabaikan kepentingan silent majority. Dalam hal ini, bagi saya PPMI Mesir selama ini terjebak dalam tekanan dari orang-orang tertentu, meskipun ada kemungkinan besar banyak anggota Masisir lainnya (silent majority) ingin agar isu ini diangkat demi menciptakan lingkungan yang lebih aman dan nyaman.

Barangkali, orang-orang yang kontra dengan pemberitaan di media ini terlihat banyak karena sering koar-koar di media sosial atau ranah publik, dengan dalih yang sudah saya sebutkan sebelumnya, dan orang-orang yang pro terlihat sedikit karena cenderung bungkam sebab khawatir dikucilkan misalnya. Hal-hal seperti inilah yang sering diabaikan oleh mereka yang selama ini menjabat di PPMI Mesir.

Tanpa mereka sadari, mengabaikan kepentingan silent majority ini sangat berefek pada tatanan sosial Masisir, dan menjadi hambatan bagi perubahan sosial. Membiarkan kelompok vokal terlihat seolah-olah mewakili pendapat seluruh komunitas, meskipun pendapat mereka justru keliru dan terbukti tidak efektif dari dulu hingga sekarang.

Ketiga, Melestarikan pola dominasi. Hal ini mungkin sudah menjadi rahasia umum, bahwa beberapa kebijakan petinggi organisasi berada di bawah kendali pihak tertentu. Tekanan dari orang-orang inilah yang menunjukkan pola power imbalance, di mana otoritas hierarkis membungkam inisiatif yang berpotensi positif.

Hal ini saya dapatkan juga di dalam forum diskusi yang sudah singgung di awal. Kekhawatiran yang tampak dari gestur perwakilan PPMI Mesir saat itu adalah bentuk ketakutan mereka terhadap pola dominasi otoritas hierarki ini.

Pada akhirnya, pola kompromi yang ada sekarang justru memperkuat status quo dan mengabaikan akar masalah. Tekanan dari pihak tertentu dan keberadaan silent majority yang bungkam menjadi hambatan besar, tetapi ini juga seharusnya membuka peluang untuk perubahan. Jika PPMI Mesir mampu memobilisasi silent majority dan menghadapi tekanan secara strategis, mereka tidak hanya bisa menyelesaikan isu ini dengan lebih transparan, tetapi juga membangun budaya yang lebih adil dan bertanggung jawab di kalangan Masisir.

Tentu bagi saya, tidak akan ada perubahan dalam sosial-moral Masisir jika para pemangku kebijakan—yang berpusat pada PPMI Mesir—masih tunduk dan takut pada dominasi pihak tertentu. Bertahun-tahun bungkam akan masalah ini, sudah saatnya silent majority bersuara demi peningkatan kualitas Masisir itu sendiri, tentu dimulai dari dukungan pihak PPMI Mesir sebagai pemegang data yang mau membuka diri dan informasi kepada media-media Masisir.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan kutipan kalam dari Mahatma Gandhi, “Silence becomes cowardice when occasion demands speaking out the whole truth and acting accordingly (red: Keheningan menjadi pengecut ketika keadaan menuntut kita untuk menyuarakan kebenaran sepenuhnya dan bertindak sesuai dengan itu).” Wallahua’lam bi al-shawwab.

 

Mari bergabung untuk mendapatkan info menarik lainnya!

Klik di sini
Comment
Share:

1Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ad