Informatika Mesir
Home Sorotan Bagaimana Masisir Melihat Lawatan Prabowo ke Mesir?

Bagaimana Masisir Melihat Lawatan Prabowo ke Mesir?

Oleh: Rifaldhoh, Mahasiswa jurusan Sejarah dan Peradaban Universitas Al-Azhar

Sebagai pelajar yang oleh Prof. Kuntowijoyo disebut Sejarawan Akademik, lawatan Presiden RI ke Mesir kali ini cukup menimbulkan minat penulis. Terlebih dalam rangka menunaikan tugas kesejarahan, layaknya yang dilakukan kaum sejarawan seperti Imam al-Jabarti dan al-Rafi‘i; merekam peristiwa penting yang terjadi di masanya.

Berangkat dari dua kesadaran itu, penulis berkesimpulan bahwa alangkah baiknya
dokumentasi Masisir (mahasiswa Indonesia di Mesir) atas kedatangan presidennya tidak habis di feed Instagram –yang juga akan tertimbun oleh foto-foto yang lebih baru– itu saja. Dari kacamata penulis yang diajarkan ilmu politik dan komunikasi politik di Al-Azhar, Lawatan Prabowo ini cukup terbuka untuk dianalisa dari pelbagai sisi. Setidaknya dari sudut pandang orang yang belajar ilmu politik dan sudut pandang sebagai talib Al-Azhar. Dua point of view itu yang akan
digunakan dalam tulisan ini.

Daya Tawar Politik Mesir di Kancah Global
Mesir als natiestaat (negara bangsa) memang mempunyai daya tawar global yang luar biasa. Lokasi geografis, kekayaan sejarah dan modal demografi yang besar menjadi kekuatan politik Mesir di panggung internasional. Hal ini diamini langsung oleh Prabowo, sebagaimana yang dilansir dari pidatonya di Pangkalan TNI AU Halim Perdana Kusuma beberapa menit sebelum bertolak ke Mesir.

“Kunjungan ini akan menjadi kunjungan kenegaraan Presiden RI ke Mesir pertama sejak tahun 2013. Mesir adalah sahabat kita, mitra strategis bagi Indonesia, dan negara penting di Timur Tengah”, ujar Prabowo.

Prabowo benar, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah Presiden terakhir yang melakukan kunjungan kenegaraan ke Republik Arab Mesir. SBY berada di Mesir antara tanggal 05-06 Februari 2013. Masa itu Mesir sedang berada di situasi yang tak mudah, masa transisi kepemimpinan pasca peristiwa Arab Spring. Presiden Mesir yang menjabat saat kunjungan SBY adalah Morsi.

Adapun kunjungan Prabowo sendiri, agenda utamanya adalah menghadiri forum
mulitelateral Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-11 Developing Eight. Tampuk kepemimpinan forum kerja sama delapan negara berkembang ini sedang dipegang Mesir. Kedatangan Prabowo secara langsung juga sebenarnya hendak menerima jabatan ketua lembaga tersebut untuk periode 2026-2027.

Citra Politik Pemerintahan Prabowo
Kita semua tahu, sebagai manusia politik yang tengah menduduki jabatan politik, setiap gerak-gerik Prabowo tak mungkin muncul dari ruang hampa. Pasti ada alasan dan kalkulasi politis dibaliknya. Begitu pula dengan lawatannya ke Mesir kali ini. Sulit untuk mengatakan “tidak sengaja” dua pimpinan lembaga paling tinggi di Indonesia sama-sama tengah berada di Timur Tengah.

Saat prabowo sedang bersalam-salaman dengan Grand Syekh Al-Azhar di Kairo, di seberang Laut Merah, Ahmad Muzani selaku Ketua MPR RI tengah duduk satu meja dengan Sekjend Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di markas pusatnya di kota Jeddah, Arab Saudi.

Agaknya, isu kedekatan dengan kelompok Islam memang jadi concern Prabowo di awal masa pemerintahannya. Membangun citra positif dekat dengan kalangan Islam dirasa penting, terlebih pasca pertarungan isu kampanye di pilpres yang lalu. Hal ini diperkuat dengan caption yang ada di unggahan akun sosmed baik Prabowo maupun pejabat teras kabinet yang lain. Frasa seputar dukungan pada perjuangan Palestina selalu disertakan. Bagi kita, at least ini sinyal yang baik. Bahwa pemerintah setidaknya aware dengan isu yang semua umat muslim akan bersepakat dengan hal itu.

Sowan ke Grand Syekh
Sejak penulis pertama kali tiba di Mesir lalu mulai mengikuti dengan cukup intens akun sosial media Al-Azhar, ada satu fenomena yang sangat menarik. Grand Syekh sering sekali menerima tamu kenegaraan di gedung Masyikhah Al-Azhar, atau dengan istilah lain para pemimpin negara ‘sowan’ pada Grand Syekh kita; Syekh Ahmad Thayyib.

Kenapa ini menarik?. Karena dalam adat kebiasaan di tanah air, sowan itu berarti kunjungan seseorang pada orang yang terhormat di kediamannya –biasanya ulama– untuk tujuan tertentu. Di titik ini penulis menangkap ada pesan lain yang dapat kita –masisir– lihat dari fenomena sowan pada Grand Syekh ini. Setidaknya ada tiga pesan penting:

  1. Wibawa Al-Azhar yang sangat dihormati. Kunjungan tokoh agama ke Masyikhah Al-Azhar adalah hal biasa; biasa karena memang demikianlah yang seharusnya–Al-Azhar yang notabene merupakan institusi pendidikan menerima tamu dari kalangan cendikia. Namun menjadi tidak biasa (baca: luar biasa) adalah bilamana pemimpin politik mulai dari duta besar, menteri bahkan pimpinan sebuah negara berdaulat ‘repot-repot’meluangkan waktu sowan ke Masyikhah untuk berjumpa Grand Syekh.
  2. Daya tawar politik Grand Syekh Ahmad Thayyib. Sowannya tokoh politik luar negeri ke Grand Syekh merupakan indikasi yang sangat jelas soal peran politis yang dimiliki pimpinan Al-Azhar itu. Daya tawar politiknya tak main-main; mampu menarik –tentu beliau tidak menyengaja– tokoh-tokoh ternama dari berbagai negara. Bisa Anda cek di laman sosial media Al-Azhar, yang sowan ke Grand Syekh bukan hanya pejabat dari negara mayoritas muslim. Tokoh-tokoh terkenal dari negara minoritas Islam juga pernah duduk di kursi tamu kantor Grand Syekh itu.
  3. Pengakuan peran Al-Azhar dan ungkapan terima kasih. Dalam fenomena sowan, biasanya si tamu akan mengucapkan rasa terima kasih pada sang guru. Hematku, kedatangan pimpinan negara ke kantor Grand Syekh ini juga sebagai bentuk ucapan terima kasih dari presiden atau perdana menteri sebuah negara pada Al-Azhar yang telah menjalankan peran luar biasa untuk kemanusiaan. Metode belajar yang memerdekakan, keleluasaan fasilitas yang diberikan pada tunas-tunas bangsa dari negara lain serta metodologi dakwah yang moderat adalah hal-hal yang sulit dicari di institusi lain di tanah Arab ini. Tak heran, kunjungan presiden RI ke kantor Al-Azhar mengafirmasi peran penting Al-Azhar tidak hanya bagi umat Islam, namun juga bagi dunia keseluruhan.

Penutup dan Ta‘bir Kesyukuran
Dari penelaahan hal-hal di atas, rasanya makin tak punya alasan untuk tidak mensyukuri nikmat bisa menisbahkan diri pada lembaga terhormat ini. Sungguh nisbah “Azhari” itu bukan hanya nisbah pada kampus saja, seperti “Ahgafi” bagi mahasiswa Universitas Al-Ahqaf Yaman atau nisbah-nisbah akademik lain.

Silakan Anda cek sendiri, rasa-rasanya tak ada ulama atau institusi pendidikan lain di Timur Tengah ini yang mengalami hal yang sama; ‘disowani’ kepala-kepala negara laiknya Al-Azhar. Sungguh Al-Azhar bukan hanya lembaga pendidikan tinggi penyedia ijazah s1 sampai s3. Al-Azhar demikian istimewa, terhormat, disegani, bila munaza‘.

Tanpa ada niat membanding-bandingkan, based on analisa komunikasi politik semata.
Silakan sebut ulama representatif di negara Arab hari ini, barangkali –sesuai penilaian subjektif penulis– ada nama-nama seperti Habib Umar bin Hafizh yang merupakan Ulama masyhur dari Yaman. Syekh Said Foudah ulama masyhur alumni Universitas Jordan yang buah pikirnya cukup banyak diperbincangkan, atau Abdul Aziz Al Syekh sang Mufti Kerajaan Arab Saudi yang dianggap pengganti Bin Baz sebagai representasi tokoh salafi dekade ini–yang juga jebolan perguruan tinggi paling beken di negeri raja Salman itu, rasa-rasanya mereka tidak merasakan ‘disowani’ tokoh sekelas pimpinan negara at least presiden RI. Dengan kata lain, tidak lah Prabowo atau Anwar Ibrahim (PM Malaysia) menyengaja menekan pedal gas mobil hanya untuk sowan ke rumah, markas atau kantor tokoh-tokoh itu.

Sekarang, terang lah sudah wibawa Al-Azhar di kepala kita. Nisbah “Azhari” yang sedang, sudah atau akan kita miliki itu bukan sekedar nisbah lembaga penerbit ijazah sahaja. Ia jauh dari itu. Dari segala bab, penggaris apapun, bila sampai ke tanah Arab, sekali berkata belajarnya di Al-Azhar, maka sudah, tutup buku, anda berada di puncak daripada puncak, pusat dari segala puncak, tinggi dari yang paling tinggi. Kunta Fi Rihab Al-Azhar.

Sebagai penutup, aku teringat celetukan seorang teman saat mengomentari foto Prabowo di Masyikhah kemarin:

“Lihat, bung. Memang paten betul Al-Azhar, ya. Bangga sekali aku dengan Al-Azhar. Nikmat ini,”sambungnya dengan semangat. “Tak tau lagi lah aku gimana cara mensyukurinya. Dulu saja saat di pondok ada ulama Arab datang bukan main kuaggap keren. Eh rupanya mereka yang ke pondok itu masih kelas-kelas dosen atau paling paten rektor lah. Itu pun rektor-rektor perguruan tinggi seumur jagung, masih lebih tua UIN Provinsiku dari kampusnya. Lah, di Mesir ini perasaan Rektor Al-Azhar belum masuk circle ulama senior, itu rektor Al-Azhar loh.”

“Hush, jangan salah kau, kawan. Gitu-gitu, dulu pasti kau juga pernah rebutan gelas bekas minumnya, kan?”, candaku.

Mari bergabung untuk mendapatkan info menarik lainnya!

Klik di sini
Comment
Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ad