Menu

Mode Gelap
Menyoal Politik Kronisme ala PPMI Mesir Pilpres 2024, Mendag: Tiga-tiganya Pasti Pancasilais Ittiba 2023, Mahasiswa Baru Diajak Berburu Harta Karun Komentari Laga Final GSC, HNW: Pertunjukan Yang Sangat Luar Biasa Dari Skandal Investasi, Penipuan, Hingga Penggelapan Gaji

Isu Terkini · 14 Aug 2020 10:19 ·

Jangan Merasa Paling Azhari!


Ilustrasi orang yang mengaku sebagai Azhari. (Sumber: Informatika/Defri) Perbesar

Ilustrasi orang yang mengaku sebagai Azhari. (Sumber: Informatika/Defri)

Oleh: MS. Yusuf Al-Amien, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Al-Azhar

Pagi itu sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk ke WhatsApp saya, isi pesannya mengatakan: “Assalamu’alaikum, Ust. Kira-kira bolehkah saya menanyakan sesuatu? Bagaimana semisal ada ormas yang sudah besar, ia menyatakan ormasnya sudah Azhari/bermanhaj Azhar, akan tetapi masih menyalahkan dan mengecilkan ormas yang tak sepaham dengannya. Jadi seolah ormas yang tak sepaham dengannya itu sudah tersesat dari jalan Azhari. Apakah yang sedemikian bisa dikatakan bermanhaj Azhari, Ust? Seolah mereka menekankan toleransi, akan tetapi mereka tak bertoleransi.”

Setelah berkenalan, akhirnya saya tahu bahwa pengirim pesan tersebut adalah seorang aktivis Masisir yang merupakan pengurus dari sebuah organisasi besar. Saya pun bingung harus memulai jawaban dari mana, akhirnya, melalui Voice Note saya mengawali jawaban saya dari kisah pribadi.

Dahulu, ketika tahun pertama kedatangan di Mesir, saya pernah belajar bersama teman-teman lainnya dengan dimentori oleh para senior dan kakak kelas. Pelajaran ini diampu oleh senior “A”, pelajaran itu dimentori oleh senior “B”, sedangkan pelajaran yang lain oleh kakak kelas “C”, dan seterusnya. Belajar kelompok semacam ini memang digalakkan—terlebih oleh pihak senat—untuk Mahasiswa Baru (Maba) kala itu. Apalagi melihat kami yang baru tiba di Mesir bulan November, sedangkan ujian termin pertama akan digelar bulan Desembernya.

Tapi dalam tulisan ini saya tidak akan bercerita tentang bagaimana kami harus menguasai diktat kuliah dalam waktu singkat seperti itu, yang menjadi stressing saya adalah; bahwa di kemudian hari saya baru tahu bahwa senior “A” itu adalah sosok yang dikenal berpemikiran Liberal di kalangan Masisir, dan senior “B” adalah pentolan tokoh Syi’ah di kalangan Masisir, sedangkan senior “C” adalah seorang yang disebut “murabi” oleh kaum tarbiyah. Belakangan saya baru tahu, bahwa dahulu kami pernah belajar kelompok bersama para senior dengan latar belakang pemikiran yang beragam dan bermacam-macam.

Ya, corak pemikiran dan kecenderungan literasi Masisir sejak dahulu sudah heterogen dan cocktail. Sejak zaman bus 80 coret ongkosnya masih nush geneh, Masisir sudah bergumul dan berinteraksi dengan pemikiran yang “nano-nano”. Ada kalanya antara satu pemikiran dengan pemikiran yang lain bersinggungan, terjadi dialog hingga debat, baik di mailing list sampai di media cetak Masisir yang didistribusikan secara manual door to door. Semuanya boleh berbicara dan boleh menulis, boleh berargumen dan boleh meng-counter, era medsos belum tiba, sehingga tidak ada buzzer dengan akun fake dan kloningan yang hanya bisa memperkeruh diskusi tanpa menunjukkan batang hidungnya.

Tapi ada satu hal yang sangat penting di sini, di tengah atmosfer perbedaan pemikiran yang sedemikan rupa, dan di tengah iklim diskusi serta dialog yang sedemikian tajamnya, tidak ada satu pun di antara mereka yang merasa paling Azhari sendiri, paling tulen Aswaja-nya dan merasa paling kokoh berdiri di atas Manhaj Al-Azhar, lalu mengklaim pihak lain yang berseberangan dengannya sebagai Azhari ‘Kaleng-Kaleng’, Azhari Jami’atan yang mengejar ijazah saja, atau Azhari Abal-Abal yang menyimpang dari manhaj almamaternya.

Saya lalu mengatakan kepada sahabat yang mengirim WhatsApp kepada saya tadi, bahwa fenomena “Merasa Paling Azhari” ini tidak saya temukan selama empat tahun kuliah di jenjang strata satu dan ketika awal-awal masa tamhidi. Fenomena “Merasa Sok Azhari” ini baru muncul belakangan ini. Entah siapa yang mengawalinya dan siapa yang mengampanyekannya, saya tidak tahu, dan tidak tertarik untuk tahu. Namun yang jelas fenomena ini belakangan kian menyengat bau anyirnya dan kian kental arogansinya.

Jika ditilik, fenomena “Merasa Paling Baik” dan merasa menjadi “Juru Bicara Tunggal” yang berhak memonopoli dan mengatur sebuah definisi, lalu memaksakan penafsirannya kepada semua orang dengan menegasikan argumen pihak lain seperti ini, adalah penyakit sosial yang jamak muncul dalam berbagai kancah diskursus masyarakat. Seperti misalkan:

  • Kita umat Islam sedari dahulu senantiasa berpegangan kepada Al-Qur`an dan Sunnah, tidak pernah meninggalkannya, lalu mendadak di belakangan hari muncul sekelompok orang mengusung jargon “Kembali kepada Al-Qur`an dan Sunnah”, kemudian menuduh setiap orang yang menyelisihi interpretasinya sebagai kaum bid’ah yang telah melesat dari ajaran Sunnah layaknya anak panah yang melesat dari busurnya.
  • Lalu kita sebagai bangsa Indonesia juga sedari awal dirumuskannya Pancasila senantiasa berpegangan dengan sila-silanya, tidak pernah menggantinya, lalu tiba-tiba di belakangan hari ada sekelompok orang yang merasa paling representatif terhadap Pancasila, paling berhak menafsirkan sila-silanya dan paling merasa “Saya Indonesia, Saya Pancasila”, sembari menuduh setiap orang yang di luar kelompoknya sebagai kaum radikal fundamental pengusung ekstrimisme dan terorisme.
  • Hingga akhirnya kini dalam lingkup selevel Masisir, kita dapati jargon-jargon sinis yang didengungkan dengan nada sumbang, lalu memecah belah Masisir menjadi: “Azhari Tulen” dan “Azhari Kaleng-Kaleng”, “Azhari Ori” dan “Azhari KW”. Sungguh, ini hanyalah nama-nama bid’ah yang belum pernah ada dalam kamus Masisir zaman old.

Sejatinya, bermanhaj Al-Azhar adalah sesuatu yang substansial dan inheren dalam diri setiap Azhari. Berpancasila juga sesuatu yang mendasar dan dianut setiap WNI, begitu juga berpegangan kepada Al-Qur`an dan Sunnah merupakan pedoman hidup bagi setiap muslim. Kita tidak perlu menampakkan itu dalam ucapan dan jargon-jargon kosong, sebab itu adalah hal esensial yang terpancarkan dalam aksi dan bukti. Kita tidak perlu mengatakan bahwa langit itu di atas dan matahari itu panas, karena suatu perkara yang terlalu mendasar dan jamak diketahui itu tidak perlu didiktekan dan didiskusikan.

Benar, barangkali kita akan berbeda pendapat tentang penafsiran dalam tataran rincinya; barangkali juga ada beberapa oknum “nakal” yang keluar dari rel ideal sebuah manhaj, tapi itu sama sekali bukan alasan bagi kita untuk menjadi “Polisi Manhaj” yang secara sepihak memberikan legitimasi terhadap diri sendiri, lalu dengan entengnya menyetempel Masisir “A” sebagai “Azhari Premium” dan menyetempel Masisir “B” sebagai “Azhari Oplosan”.

Jika merujuk sejarah, Al-Azhar sejatinya adalah instansi Islam tertua yang diberi keberkahan tetap eksis hingga saat ini karena manhaj dakwahnya yang mampu mengayomi dan merangkul semua pihak, bukan dengan memusuhi dan memukul setiap penyelisih. Oleh karena itu, ketika Al-Azhar mengusung nilai generik “Rahmatan lil ‘alamin”, ia benar-benar mampu menjadi rumah dialog bagi penganut lintas-mazhab dan lintas-aliran, bahkan lintas-agama sekalipun.

Al-Azhar mampu berdialog dengan Gereja Koptik Mesir lalu mendirikan “Bait Al-‘A`ilah Al-Mishriyyah” (Rumah Keluarga Mesir) yang menjadi wadah untuk mempererat jalinan antara umat Islam dan Kristen Koptik di Mesir. Al-Azhar juga mampu berdialog dengan Gereja Vatikan lalu mendirikan “The Higher Committee of Human Fraternity” (Komite Tinggi Persaudaraan Manusia), untuk melirik kerja sama dalam nilai-nilai humanis yang menjadi titik-temu sesama manusia. Bahkan, dalam Konferensi Bela Al-Quds yang digelar di Kairo dua tahun silam, Al-Azhar mengundang tokoh-tokoh agama dari berbagai negara dan tak luput tokoh Yahudi yang anti zionisme pun turut diberi panggung untuk menyampaikan pandangannya terkait kota Al-Quds dan penjajahan di sana.

Begitulah manhaj Al-Azhar dalam mengusung misi “Rahmat bagi semesta alam”; tak banyak narasi, tapi melangkah pasti. Al-Azhar membuka pintunya bagi siapa pun untuk berdialog, nalar Al-Azhar mampu mendudukkan permasalahan pada posisinya yang tepat. Di bangku kuliah, Al-Azhar mengajarkan mahasiswanya tentang Tauhid dan kebatilan agama-agama selain Islam, namun ketika membahas tentang tema-tema universal seperti kemanusiaan, melawan penjajahan dan koeksistensi, Al-Azhar mampu duduk berdampingan dengan siapa saja. Tokoh-tokoh Kristen yang dirangkul oleh Al-Azhar itu bukan lagi beda manhaj dengan Al-Azhar, tapi sudah beda kiblat dan sesembahan; dan bekerjasama semacam itu sama sekali tidak mencoreng jubah Al-Azhar, sebaliknya, justru itu menunjukkan bahwa dakwah Al-Azhar dapat diterima oleh siapa saja.

Manhaj inilah yang—entah mengapa—diabaikan dan tidak diacuhkan oleh segelintir orang yang mengklaim diri paling “Azhari” itu, yaitu manhaj merangkul dan menyatukan. Makanya aneh binti ajaib, jika seandainya ada—sekali lagi—jika seandainya ada sekelompok muslim Indonesia yang ingin menyelenggarakan acara “Peringatan Tahun Baru Hijriah” misalkan, lalu pihak panitianya ingin menjalin kerjasama dengan sebuah organisasi Masisir, kemudian organisasi Masisir tersebut mendapatkan tahdzir, persekusi verbal atau tekanan untuk membatalkan kerjasamanya dengan alasan bahwa hal itu dapat mencoreng nama Al-Azhar dikarenakan pengisinya mayoritas adalah orang-orang yang pemahamannya bertentangan dengan manhaj Azhari.

Tentu ini adalah penilaian sepihak yang lebih mengedepankan sentimen daripada nalar ilmiah. Apa hubungannya manhaj Azhari dengan berpartisipasi dalam sebuah acara Peringatan Tahun Baru Islam? Bukankah Peringatan Tahun Baru Hijriah itu adalah tema umum yang netral? Sehingga muslim mana pun, dari negara mana pun, mazhab apa pun, aliran apa pun, manhaj apa pun, berguru kepada siapa pun, mereka bisa saja saling bekerjasama untuk menyelenggarakan Syiar Muharram seperti ini, demi menunjukkan persatuan dan izah umat Islam.

Bukankah ini merupakan titik-temu yang perlu dibidik dan dibina? Bukankah Peringatan Tahun Baru Hijriah itu layaknya Peringatan 17 Agustus-an? Sehingga siapa pun warga Indonesia, apa pun sukunya, apa pun bahasanya dan apa pun warna Klepon favoritnya, mereka berhak bersama-sama merayakan Hari Kemerdekaan tersebut? Lantas, apakah kita sebagai seorang Azhari yang hanya turut berpartisipasi dalam lomba Panjat Pinang, lalu tim kita terdiri dari orang-orang yang memiliki pemikiran pro khilafah, pro komunis, pro wahabi, pro liberal, dan pro syiah—misalkan—itu otomatis menjadikan kita menyimpang dari jalan Azhari? Atau tindakan kita itu dapat disebut sebagai mencoreng jubah Azhar? Lantas, apakah menonjolkan perbedaan semacam ini dan menyulut sentimen sektarian semacam ini merupakan Manhaj Azhar? Jangan-jangan nanti jika ada Azhari beli beras di toko orang salafi, lantas ia auto-tersesat dari manhaj Azhar? Sungguh, logika yang sangat absurd dan memprihatinkan!

Oleh karenanya, tidak masalah bagi organisasi Masisir mana pun untuk bekerjasama dengan muslim mana pun dalam menyelenggarakan acara apa pun dengan tujuan dakwah dan syiar Islam. Tidak salah jika ada organisasi Masisir bekerjasama dengan simpatisan dari Partai Klepon Merah (PKM)—misalkan—dalam acara “Menyambut Muharram”, selama acara tersebut bertema umum dan jelas untuk tujuan syiar tanpa ada embel-embel lain, semisal untuk kampanye atau kegiatan politik praktis.

Nantinya, ketika Rabiul Awal, tidak mengapa juga organisasi Masisir tersebut turut berpartisipasi dengan simpatisan dari Partai Klepon Putih (PKP) dalam acara Maulid Nabi; meskipun PKM dan PKP ini adalah rival bebuyutan, itu urusan mereka, kita sebagai seorang Azhari tidak turut campur. Dan bukankah pimpinan tertinggi Saudi dan Iran juga pernah berkunjung dan disambut di Al-Azhar? Sekalipun keduanya kerap berselisih secara politis dan ideologis, Al-Azhar tidak turut campur. Yang terpenting, keduanya diperlakukan sama oleh Al-Azhar sebagai saudara seagama.

Terakhir, jika di awal tulisan saya mengawali dengan kisah pribadi ketika tahun pertama di Mesir, maka di akhir tulisan ini saya akan menyadurkan kisah pribadi Grand Syekh Al-Azhar Prof. Dr. Ahmad Thayyib, yang beliau sampaikan di hadapan para menteri, cendekiawan dan ulama Saudi pada tanggal 20 April 2013 lalu. Beliau mengatakan:

“Wahai saudara yang mulia, sesungguhnya ketetapan akan hakikat ini tidak terbatas pada sisi teoritis yang dibaca dalam berbagai sumber referensi terpercaya bagi akidah Ahlussunnah wal-Jama’ah saja, akan tetapi ia merupakan metode yang dianut dan dikenal, realitas yang nyata, bagi penyelenggaraan pendidikan di Al-Azhar dan pembentukan pengajaran di institut yang berusia tua ini, yang mana lembaga ini diwarnai dengan corak pemikiran yang seimbang, perpaduan intelektualitas yang moderat dan komprehensif, dan akidah teguh terkait persatuan umat Islam selama mereka bersatu menghadap satu kiblat.

Wahai saudara-saudara, izinkan saya untuk sampaikan sebuah pengalaman pribadi: Sejak tahun 60-an abad lalu ketika saya duduk di tingkat Pascasarjana Universitas Al-Azhar Al-Syarif, saya telah belajar dari Syaikh Muhammad Yusuf Al-Syaikh, seorang syaikh Asya’irah yang terkenal, Syaikh ‘Iwadhullah Hijazi dengan kecenderungan nalar logikanya, Syaikh Abdul Halim Mahmud dengan kecenderungan spiritualnya, Syaikh Muhammad Khalil Harras dengan kecenderungan salafinya, yang mana dia adalah tokoh pelopor studi ‘Ibnu Taimiyyah Al-Salafiy’ yang dengannya, dia menerima gelar Professor dari Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, Syaikh Abdurrahman Baishar, Syaikh Muhammad Ghallab dengan kecenderungan filsafatnya; saya bersaksi—dan Allah Maha Mengetahui—sesungguhnya masing-masing dari mereka semuanya bersemangat terhadap Islam, menyeru kepada Allah, menyokong kebenaran-kebenaran Al-Qur`an dan Sunnah, dengan apa yang dimilikinya dari pengetahuan tentang bangsa-bangsa dan filsafat para pemikir; dan kami, saat kami duduk—belajar—di hadapan mereka, kami tidak mendapati kesempitan dalam dada kami, ataupun benturan dalam akal kami. Akan tetapi dari itu semua, kami diwarisi watak yang seimbang dalam pemikiran, dan pandangan objektif terhadap semua urusan, dan kesetiaan yang teguh terhadap Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya Saw.

Semoga, pidato Grand Syaikh ini dapat membuka cakrawala pikir kita tentang Hakikat Manhaj Al-Azhar yang tidak terbatas pada ranah literasi semata, namun juga dalam medan dakwah dan interaksi dengan yang lain. Semoga, ini dapat mendorong diri kita untuk senantiasa melapangkan hati dan dada terhadap beragam pemikiran yang ada, hingga kita mampu mengusung nilai Moderasi dan Toleransi yang sesungguhnya, dengan tetap menjadi seorang Azhari tanpa perlu merasa paling hebat sendiri. Wallahu A’lam.

Editor: Muhammad Nur Taufiq al-Hakim

Artikel ini telah dibaca 319 kali

badge-check

Administrator

Baca Lainnya

Menjawab Kegaduhan Masisir Soal Dana Abadi: Ini yang Sebenarnya Terjadi

10 March 2024 - 17:29

Merawat Ingatan Ormaba PPMI Mesir

27 February 2024 - 22:14

Ditanya Isu Dana Abadi, Ketua Panitia Ormaba: Kami Sama Sekali Tidak Tahu

22 February 2024 - 13:11

Usung Tema Agama dan Kemanusiaan, PPI Tunisia Ingin Perkuat Wacana Perdamaian Dunia

18 February 2024 - 12:52

Golput No More and Democracy Will Endure Forever

31 January 2024 - 10:26

Menang Undian Umrah Gratis Dari Lazis Asfa, Peserta Ungkap Rasa Bahagia

7 August 2023 - 08:11

Trending di Aktualita